Kamis, 30 Juni 2016

Biografi KH. M. Arwani Amin Kudus


KH. M. Arwani Amin  Selain dikenal dengan sebutan Kota Kretek, Kudus juga dikenal sebagai Kota Religius atau lebih medasar lagi dikenal dengan sebutan Kota Santri. Pasalnya, banyak di antara santri yang menuntut ilmu di kota yang kharismatik yang menjadi panutan masyarakat sekitar Kudus. Di antara sekian banyak ulama di kota Kudus banyak ulama di kota Kudus yang menjadi tauladan bagi masyarakat adalah beliau al-Maghfurlah KH. M. Arwani Amin.
Sekitar lebih 100 meter di sebelah selatan Masjid Menara Kudus, tepatnya di Desa Madureksan, Kerjasan, dulu tersebutlah pasangan keluarga shaleh yang sangat mencintai al-Qur’an. Pasangan keluarga ini adalah KH. Amin Sa’id dan Hj. Wanifah. KH. Amin Sa’id ini sangat dikenal di Kudus kulon terutama di kalangan santri, karena beliau memiliki sebuah toko kitab yang cukup dikenal, yaitu toko kitab al-Amin. Dari hasil berdagang inilah, kehidupan keluarga mereka tercukupi.
Yang menarik adalah, meski keduanya (H. Amin Sa’id dan istrinya) tidak hafal al-Qur’an, namun mereka sangat gemar membaca al-Qur’an. Kegemarannya membaca al-Qur’an ini, hingga dalam seminggu mereka bisa khatam satu kali. Hal yang sangat jarang dilakukan oleh orang kebanyakan, bahkan oleh orang yang hafal al-Qur’an sekalipun.
Kelahiran KH. M. Arwani Amin Said
KH. M. Arawani Amin Said dilahirkan pada hari Selasa Kliwon pukul 11.00 siang tangga l5 Rajab 1323 H bertepatan dengan 5 September 1905 M di kampung Kerjasan Kota Kudus Jawa Tengah. Ayah beliau bernama H. Amin Said dan ibunya bernama Hj.Wanifah.
Sebenarnya nama asli beliau adalah Arwan, akan tetapi setelah beliau menunaikan ibadah haji yang pertama namanya diganti menjadi Arwani. Dan hingga wafat beliau dikenal memiliki nama lengkap sebagai KH. M. Arawani Amin Said dan panggilan akrabnya adalah Mbah Arwani Kudus.
Arwan adalah anak kedua dari 12 bersaudara. Kakaknya yang pertama seorang perempuan bernama Muzainah. Sementara adik-adiknya secara berurutan adalah Farkhan, Sholikhah, H. Abdul Muqsith, Khafidz, Ahmad Da’in, Ahmad Malikh, I’anah, Ni’mah, Muflikhak dan Ulya. Dari kedua belas ini, ada tiga yang paling menonjol, yaitu Arwan, Farkhan dan Ahmad Da’in, ketiga-tiganya hafal al-Qur’an.
Dari sekian saudara KH. M. Arwani Amin, yang dikenal sama-sama menekuni al-Qur’an adalah Farkhan dan Ahmad Da’in. Ahmad Da’in, adiknya Mbah Arwani ini bahkan terkenal jenius, karena beliau sudah hafal al-Qur’an terlebih dahulu daripada Mbah Arwan yakni pada umur 9 tahun. Ia bahkan hafal Hadits Bukhori Muslim dan menguasai Bahasa Arab dan Inggris. Kecerdasan dan kejeniusan Da’in inilah yang menggugah Mbah Arwani dan adiknya Farkhan, terpacu lebih tekun belajar.
Arwan kecil hidup di lingkungan yang sangat taat beragama (religius). Kakek dari ayahnya adalah salah satu ulama besar di Kudus, yaitu KH. Imam Haramain. Sementara garis nasabnya dari ibu, sampai pada pahlawan nasional yang juga ulama besar Pangeran Dipenegoro yang bernama kecil Raden Mas Ontowiryo.
Kehidupan Keluarga KH. M. Arwani Amin
Ayahanda Mbah Arwani yaitu H. Amin Said adalah seorang kiyai yang cukup disegani dan dihormati oleh masyarakat disekitar beliau tinggal. Meskipun ayah dan bunda beliau tidak hafal al-Qur’an, namun tempat tinggal beliau dikenal sebagai rumah al-Qur’an, karena setiap pekan mereka selalu mengkhatamkan al-Qur’an.
Istri beliau bernama Ibu Nyai Hj. Naqiyul Khud. Beliau menikah pada tahun 1935 M dimana pada saat itu status beliau adalah seorang santri dari pondok pesantren al-Munawir Krapyak Yogyakarta. Ibu Naqi adalah putri dari H. Abdul Hamid, seorang pedagang kitab. Tokonya sekarang masih ada,bahkan semakin berkembang. Beliau memiliki empat orang anak yaitu Ummi dan Zukhali Uliya (meninggal saat masih bayi) serta KH. M. A. Ulin Nuha Arwani dan KH. M. A. Ulil Albab Arwani.
Masa Menuntut Ilmu KH. M. Arwani Amin Said
KH. M. Arwani Amin dan adik-adiknya sejak kecil hanya mengenyam pendidikan di madrasah dan pondok pesantren. Arwani kecil memulai pendidikannya di Madrasah Mu’awanatul Muslimin, Kenepan, sebelah utara Menara Kudus. Beliau masuk di madrasah ini sewaktu berumur 7 tahun. Madrasah ini merupakan madrasah tertua yang ada di Kudus yang didirikan oleh Syarikat Islam (SI) pada tahun 1912. Salah satu pimpinan madrasah ini di awal-awal didirikannya adalah KH. Abdullah Sajad.
Setelah sudah semakin beranjak dewasa, akhirnya memutuskan untuk meneruskan ilmu agama Islam ke berbagai pesantren di tanah Jawa, seperti Solo, Jombang, Jogjakarta dan sebagainya. Dari perjalanannya berkelana dari satu pesantren ke pesantren itu, talah mempertemukannya dengan banyak kiai yang akhirnya menjadi gurunya (masyayikh).
Adapun sebagian guru yang mendidik KH. M. Arwani Amin diantaranya adalah KH. Abdullah Sajad (Kudus), KH. Imam Haramain (Kudus), KH. Ridhwan Asnawi (Kudus),KH. Hasyim Asy’ari (Jombang), KH. Muhammad Manshur (Solo), KH. M. Munawir(Yogyakarta) dan lain-lain.
5. Kepribadian KH. M. Arwani Amin Said
Selama berkelana mencari ilmu baik di Kudus maupun di berbagai pondok pesantren yang disinggahinya, KH. M. Arwani Amin dikenal sebagai pribadi yang santun dan cerdas karena kecerdasannya dan sopan santunnya yang halus itulah, maka banyak kiainya yang terpikat. Karena itulah pada saat mondok KH. M. Arwani Amin sering dimintai oleh kiainya membantu mengajar santri-santri lain. Lalu memunculkan rasa sayang di hati para kiainya.
Beliau hidup di lingkungan masyarakat santri yang sangat ketat dalam menghayati dan mengamalkan agama. Oleh karena itu wajar saja jika beliau tumbuh menjadi seorang yang memiliki perangai halus, sangat berbakti kepada kedua orang tua, mempunyai solidaritas yang tinggi, rasa setia kawan dan suka mengalah tapi tegas dalam memegang prinsip.
Beliau dikaruniai kecerdasan dan minat yang kuat dalam menuntut ilmu. Pada masa remajanya dihabiskan untuk menuntut ilmu mengembara dari pesantren ke pesantren. Tidak kurang dari 39 tahun hidup beliau dihabiskan untuk menuntut ilmu dari kota ke kota yang dimulai dari kotanya sendiri yaitu Kudus. Kemudian dilanjutkan ke Pesantren Jamsaren Solo, Pesantren Tebu Ireng Jombang, Pesantren al-Munawir Krapyak Yogyakarta dan diakhiri di Pesantren Popongan Solo.
Sekitar tahun 1935, KH. Arwani Amin pun melaksanakan pernikahan dengan salah satu seorang putri Kudus, yang kebetulan cucu dari guru atau kiainya sendiri yaitu KH. Abdullah Sajad. Perempuan sholehah yang disunting oleh beliu adalah ibu Naqiyul Khud.
Dari pernikahannya dengan ibu Naqiyul Khud ini, KH. M. Arwani Amin diberi dua putrid dan dua putra. Putri pertama dan kedua beliau adalah Ummi dan Zukhali (Ulya), namun kedua putri beliau ini menginggal dunia sewaktu masih bayi.
Yang tinggal sampai kini adalah kedua putra beliau yang kelak meneruskan perjuangan KH. M. Arwani Amin dalam mengelola pondok pesantren yang didirikannya. Kedua putra beliau adalah KH. Ulin Nuha (Gus Ulin) dan KH. Ulil Albab Arwani (Gus Bab). Kelak, dalam menahkodai pesantren itu, mereka dibantu oleh KH. Muhammad Manshur. Salah satu khadam KH. M. Arwani Amin yang kemudian dijadikan sebagai anak angkatnya.
6. Perjuangan KH. M. Arwani Amin Said
Beliau mengajarkan al-Qur’an pertama kali sekitar tahun 1942 di Masjid Kenepan Kudus yaitu setamat beliau nyantri dari pesantren al-Munawir Krapyak Yogyakarta. Pada periode ini santri-santri beliau kebanyakan berasal dari luar kota Kudus. Seiring berjalannya waktu sedikit demi sedikit santri beliau semakin bertambah banyak dan bukan hanya dari Kudus dan sekitarnya, tapi ada yang berasal dari luar propinsi bahkan dari luar pulau Jawa. Kemudian beliau membangun sebuah pondok pesantren yang diberi nama Yanbu’ul Qur’an yang berarti Sumber al-Quran. Pondok pesantren ini didirikan pada tahun 1393 H/1979 M.
KH. M. Arwani Amin meninggalkan sebuah kitab yang diberi nama Faidh al-Barakat fi as-Sabi’a Qira’at.
Semasa hidupnya beliau juga mengajarkan Thariqat Naqsabandiyah Kholidiah yang pusat kegiatannya bertempat di mesjid Kwanaran. Beliau memilih tempat ini karena suasana di sekeliling cukup sepi dan sejuk. Disamping itu tempatnya dekat perumahan dan sungai Gelis yang airnya jernih untuk membantu penyediaan air untuk para peserta kholwat. KH. M. Arwani amin juga pernah menjadi pimpinan Jam’iyah Ahli ath-Thariqat al-Mu’tabarah yang didirikan oleh para kyai pada tanggal 10 Oktobrr 1957 M. Dan dalam Mu’tamar NU 1979 di Semarang nama tersebut diubah menjadi Jam’iyyah Ahl ath-Thariqat al-Mu’tabarah an-Nahdliyyah (JATMAN).
7. Kelebihan KH. M. Arwani Amin Said
KH. M. Arwani Amin dikenal sebagai seorang ulama yang sangat tekun dalam beribadah. Dalam melaksanakan sholat wajib beliau selalu tepat waktu dan senantiasa berjamaah meskipun dalam keadaan sakit. Kebiasaan tersebut sudah beliau jalani sejak berada di pesantren.
Sewaktu masih belajar Qiraat Sab’ah pada KH. Munawir di Krapyak yang pelajarannya dimulai pada pukul 02.00 dinihari sampai menjelang Shubuh beliau sudah siap pada pukul 12.00 malam. Dan sambil menunggu waktu pelajaran dimulai beliau manfaatkan untuk melaksanakan sholat sunnah dan dzikir. Kebiasaan tersebut tetap berlanjut setelah beliau kembali dan bermukim di Kudus.
Biasanya beliau mulai tidur pukul 20.00 WIB dan bangun pukul 21.00 WIB. Kemudian dilanjutkan melaksanakan sholat sunnah dan dzikir. Apabila sudah lelah kemudian tidur lagi kira-kira selama satu sampai dua jam kemudian bangun lagi untuk melaksanakan sholat dan dzikir, begitu setiap malamya sehingga bila dikalkulasi beliau hanya tidur dua sampai tiga jam setiap malamnya
KH. M. Arwani Amin Said dikenal oleh msyarakat di sekitarnya sebagai seorang ulama yang memiliki kelebihan yang luar biasa. Banyak yang mengatakan bahwa beliau adalah seorang wali,beberapa santrinya mengatakan bahwa KH.Arwani Amin memiliki indra keenam dan mengetahui apa yang akan terjadi dan melihat apa yang tidak terlihat.
Konon, menurut KH. Sya’roni Ahmadi, kelebihan Mbah Arwani dan saudara-saudaranya adalah berkat orangtuanya yang senang membaca al-Qur’an. Dimana orangtuanya selalu menghatamkan membaca al-Qur’an meski tidak hafal.
Selain barokah orantuanya yang cinta kepada al-Qur’an, KH. Arwani Amin sendiri adalah sosok yang sangat haus akan ilmu. Ini dibuktikan dengan perjalanan panjang beliau berkelana ke berbagai daerah untuk mondok, berguru pada ulama-ulama.
Selama menjadi santri, Mbah Arwani selalu disenangi para kyai dan teman-temannya karena kecerdasan dan kesopanannya. Bahkan, karena kesopanan dan kecerdasannya itu, KH. Hasyim Asy’ari sempat menawarinya akan dijadikan menantu.
Namun, Mbah Arwani memohon izin kepada KH. Hasyim Asy’ari bermusyawarah dengan orang tuanya. Dan dengan sangat menyesal, orang tuanya tidak bisa menerima tawaran KH. Hasyim Asy’ari, karena kakek Mbah Arwani (KH. Haramain) pernah berpesan agar ayahnya berbesanan dengan orang di sekitar Kudus saja.Akhirnya, Mbah Arwani menikah dengan Ibu Nyai Naqiyul Khud pada 1935. Bu Naqi adalah puteri dari H. Abdul Hamid bin KH. Abdullah Sajad, yang sebenarnya masih ada hubungan keluarga dengan Mbah Arwani sendiri.
8. Anak Didik KH. M. Arwani Amin Said
Ribuan murid telah lahir dari pondok yang dirintis KH. M. Arwani Amin tersebut. Banyak dari mereka yang menjadi ulama dan tokoh. Sebut saja diantara murid-murid KH. M. Arwani Amin yang menjadi ulama adalah:
1) KH. Sya’roni Ahmadi (Kudus)
2) KH. Hisyam (Kudus)
3) KH. Abdullah Salam (Kajen)
4) KH. Muhammad Manshur
5) KH. Muharror Ali (Blora)
6) KH. Najib Abdul Qodir (Jogja)
7) KH. Nawawi (Bantul)
8) KH. Marwan (Mranggen)
9) KH. A. Hafidz (Mojokerto)
10) KH. Abdullah Umar (Semarang)
11) KH. Hasan Mangli (Magelang)
9. KH. M. Arwani Amin Said Berpulang ke Rahmatullah
Dengan keharuman namanya dan berbagai pujian dan sanjungan penuh rasa hormat dan ta’dzim atas kealimannya, beliu wafat pada taggal 25 Rabiul Akhir tahun 1415 H atau bertepatan dengan tanggal 1 Oktober tahun 1994 M dalam usia 92 tahun (dalam hitungan Hijriyah). Beliau dimakamkan di komplek Pesantren Yanbu’ul Qur’an Kudus.

K.H.R. Abdul Qodir Munawwir Pendiri Madrosatul Huffadz PP Al-Munawwir Krapyak Jogja

“Saya mengaji Fatihah dengan Mbah Arwani satu minggu selesai, tetapi dengan Mbah Qodir satu bulan, masyaallah. Kadang hati setengah jengkel (ngaji nggak tambah-tambah), tetapi anehnya setiap beliau keluar dari pintu tengah, siap mengajar anak-anak pasti yang saya tatap adalah wajah yang ceria, senyum yang khas.. plengeeh.. seakan hati saya disihir, lenyap rasa gundah saya. Saya jadi semangat untuk mengaji.”
 KH. Munawir Abdul Fatah (Anggota MUI Provinsi DIY)

KH. R. Abdul Qodir Munawwir, atau Romo Kyai Qodir, dilahirkan pada Sabtu Legi 11 Dzulqo’dah 1338 H bertepatan dengan 24 Juli 1919 M. Beliau adalah salah satu putra al-maghfur lah KH Muhammad Munawwir bin Abdullah Rosyad (muassis Pondok Pesantren Al-Munawwir Krapyak Yogyakarta) dari istri pertama, Ny. R. Ayu Mursyidah, yang berasal dari keluarga Kraton Ngayogyakarta Hadiningrat.

Setelah KH. M. Munawwir wafat (1942 M), Romo Kyai Qodir meneruskan estafet tanggung jawab ayahandanya untuk mengasuh pesantren bersama sang kakak (KH. R. Abdullah Afandi Munawwir) dan adik iparnya (KH. Ali Ma’shum) dalam usia yang relatif muda, yakni 18 tahun. Meskipun usia beliau masih relatif muda namun apa yang telah beliau dapatkan dari guru-guru beliau waktu itu sudah cukup sebagai bekal untuk meneruskan amanah berupa pesantren, khususnya dalam hal pengajian Al-Qur’an. Di antara guru-guru beliau ialah sang ayah sendiri, KH. M. Munawwir, dan KH. Dalhar Watucongol.

Di kemudian hari, mengenai hal ini, dikisahkan oleh KH. Umar Abdurrahman (Bantul) ketika mendampingi beliau silaturrahim ke kediaman almarhum KH. Abdul Hamid Pasuruan. Saat itu, menurut penuturan Kyai Umar, Kyai Hamid sempat mengatakan bahwa Kyai Abdul Qodir adalah sosok seorang putra yang sangat mengerti dan memahami keberadaan orangtuanya. Yakni mampu menyerap ilmu dari orangtuanya, mengabulkan apa yang menjadi harapan orangtuanya, dan mampu menggantikan serta meneruskan perjuangan orangtuanya. Dan satu lagi; mampu meneladani sifat-sifat serta kepribadian orangtuanya yang mulia.

Teman-teman seangkatan Romo Kyai Qodir sewaktu mengaji Al-Qur’an kepada ayahanda al-maghfur lah KH. M. Munawwir antara lain; KH. Arwani Amin Kudus, KH. Umar Abdul Mannan Mangkuyudan, KH. Umar Harun Kempek, KH. Ma’sum Gedongan, KH. Murtadho Buntet, KH. Badawi Kaliwungu, KH. Abdul Hamid Hasbulloh Tambakberas, KH. Ahyad Blitar, KH. Suhaimi Bumiayu, KH Zuhdi Kertosono, dan banyak lagi.

Romo Kyai Qodir menikah pada usia 25 tahun dengan Ny. Hj. Salimah Nawawi (Jejeran), diakadkan oleh al-maghfur lah KH. Muhammad Manshur (Popongan) yang merupakan mursyid Thoriqoh Naqsyabandiyah Kholidiyyah. Beliau dikaruniai 8 putra-putri, yakni; Fatimah (wafat waktu kecil), Nur Jihan (wafat waktu kecil), Nur Widodo (wafat waktu kecil), Ny. Hj. Ummi Salamah, KH. R. Muhammad Najib, Ny. Hj. Munawwaroh, KH. R. Abdul Hamid, dan KH. R. Abdul Hafidz.

Dalam periode Romo Kyai Qodir, pengajian Al-Qur’an diselenggarakan dengan menggunakan metode seperti yang ada pada zaman KH. M. Munawwir. Santri yang ingin mengikuti pengajian tahaffudz Al-Qur’an (bil hifdzi / bil ghoib) disyaratkan terlebih dahulu membacanya di hadapan Kyai dengan melihat mushaf (bin nadzri) dengan baik dan benar. Untuk mencapai puncak keberhasilan dalam menghapal Al-Qur’an, yakni adanya pengakuan dari Romo Kyai Qodir, tidaklah mudah. Dalam hal ini beliau menerapkan standar yang cukup ideal. Santri yang disahkan dan beliau ijinkan mengikuti prosesi wisuda Khotmil Qur’an adalah santri yang sudah mampu membaca 30 juz dengan sempurna dalam posisi sebagai imam tunggal dalam shalat tarawih yang dilaksanakan selama 20 malam pada bulan Ramadhan. Hal ini merupakan ikhtiar beliau untuk mencetak penghafal Al-Qur’an yang tangguh.

Untuk mengetahui sejauh mana kelancaran hapalan santri, beliau biasa melakukan ujian mendadak. Di waktu dan hari yang tidak terduga, para santri diharuskan selalu siap menghadap beliau yang terkadang tidak mengajar mengaji seperti biasanya, yakni para santri menyetorkan hapalannya. Tetapi, setelah tawassul Fatihah yang ditujukan kepada para guru dan para ahli silsilah sanad Al-Qur’an, beliau langsung membaca sebagian ayat atau satu ayat dari Al-Qur’an kemudian menunjuk salah satu santri untuk melanjutkannya. Hal ini beliau lakukan secara acak.

Beliau juga menerapkan program semacam ujian semester yang dilaksanakan pada bulan Rabi’ul Awwal dan Sya’ban menurut masing-masing juz yang sudah didapat dan disetorkan oleh para santri. Waktu itu, secara keseluruhan jumlah santri berkisar 70-80 orang yang dibagi menjadi beberapa kelompok. Masing-masing kelompok terdiri atas 5 santri. Kalau beberapa juz yang sudah didapat ternyata tidak semuanya lancar, maka beliau memerintahkan untuk menyetorkan kembali beberapa juz yang belum lancar tersebut dan tidak diperkenankan menambahnya lagi.

Metode seperti ini dilandasi oleh filosofi “layang-layang” yang beliau terapkan. Seseorang yang hapalan Al-Qur’annya sempurna dan lancar diibaratkan sebagai layang-layang yang mampu terbang tinggi karena mendapat angin yang cukup. Jika benangnya diulur lagi, ia juga akan bertambah tinggi. Sebaliknya, jika yang tidak sempurna dan tidak lancar hapalannya ibarat layang-layang yang kurang angin, sehingga walaupun benangnya diulur, ia tetap tidak akan mampu mencapai ketinggian yang diharapkan. Artinya, jika hapalan sekian juz sudah mantap dan lancar, tidak masalah jika akan menambah hapalan lagi. Namun bila hapalan masih kacau, tidak akan sempurna jika ditambah-tambah terus.

Romo Kyai Qodir merupakan sosok yang memiliki disiplin dan keistiqomahan yang tinggi. Hal ini terlihat dari berbagai aktivitas yang beliau lakukan setiap hari. Di mulai dari jam tiga dini hari, beliau bangun, kemudian membangunkan salah satu santri (Kyai Umar) yang waktu itu ikut ndalem untuk diajak shalat tahajjud. 

Setelah menunaikan shalat tahajjud, beliau membaca Al-Qur’an hingga menjelang shubuh, dilanjutkan dengan membangunkan para santri untuk menunaikan shalat shubuh berjama’ah. Dalam membangunkan para santri, beliau selalu didampingi oleh Kyai Umar dan Kyai Hasyim Syafi’i (Jejeran). Kyai Umar bertugas membawa lampu petromak sedangkan Kyai Hasyim bertugas membawakan ember berisi air untuk menyiram santri yang masih tidur.

Setelah selesai dzikir pagi, beliau mengajar Al-Qur’an kepada para santri secara bil ghaib. Sekitar jam tujuh pagi, pengajian selesai. Kemudian beliau bersantai sejenak, lalu melanjutkan mengajar Al-Qur’an kepada para santri putri yang datang dari komplek utara (Nurussalam). Sehabis Dzuhur, sekitar jam setengah dua siang, beliau melanjutkan kembali mengajar Al-Qur’an di masjid. Kali ini yang mengaji bersifat umum, ada yang menghapal (bil ghaib) dan ada yang tidak (bin nadzri), tidak hanya para santri tetapi juga masyarakat umum. Saai itu beliau didampingi dua asisten, yakni Kyai Ahmad Munawwir dan Kyai Zainuddin. Keduanya adalah adik beliau, satu ayah lain ibu.

Pengajian selesai sekitar jam setengah lima sore. Kemudian para santri menyiapkan diri untuk mengaji kitab di Madrasah Diniyyah. Sehabis Maghrib diterapkan program takror (mengulang hapalan) kepada para santri dengan model berpasangan, itupun tak terlepas dari pengawasan beliau. Setiap jam sembilan malam, beliau juga menyempatkan diri mengajarkan Qiro’ah Sab’iyyah, yakni ilmu tentang bacaan Al-Qur’an dan tata caranya menurut tujuh imam ahli qiro’ah, kepada beberapa santri tertentu.
Khusus pada bulan Ramadhan, pada setiap ba’da dzuhur sekitar jam setengah dua dan setelah shalat tarawih selama dua puluh hari beliau membaca Al-Qur’an secara tartil dan estafet bersama para santri sambil disiak oleh para santri lain secara keseluruhan sebanyak satu setengah juz dengan dua pebagian waktu; yakni siang hari tiga perempat juz dan malam hari juga tiga perempat juz. Di sela-sela membaca Al-Qur’an beliau menyempatkan memberikan penjelasan kepada para santri perihal bacaan-bacaan yang terkandung dalam Qiro’ah Sab’iyyah.

Dalam bepergian, di sela-sela waktu dan tempat yang tidak terduga, beliau sangat biasa mengkhatamkan Al-Qur’an. Pernah suatu hari, beliau didampingi Kyai Hasyim Syafi’i bepergian untuk berziarah di sekitar Bantul. Berangkat mulai ba’da Ashar, dimulai dari makam Dongkelan kemudian meluncur ke makam Sewu. Lalu beristirahat di kediaman kenalan beliau di Giriloyo pada sekitar jam sepuluh malam. Pagi harinya beliau melanjutkan perjalanan. Sesampainya di Gesikan, persis di musholla agak kecil, beliau mengajak berhenti untuk membaca Dzikir Tahlil dan doa Khotmil Qur’an. Baru setelah itu, beliau kembali ke Krapyak.
“Syim, bagi siapa saja yang hapalan Al-Qur’annya sudah lancar, dalam menjaga hapalannya (nderes) bisa dilakukan di manapun dia berada dan tidak harus sambil membaca dan duduk saja. Tetapi bisa dilakukan sesuai dengan keadaan, semisal sambil berjalan, rebahan, naik kendaraan, dan lain sebagainya.” pesan beliau kepada Kyai Hasyim sebelum meneruskan perjalanan menuju Krapyak.
Semasa hidup, di samping sehari-hari mengasuh pesantren, Romo Kyai Qodir juga mengisi pengajian di pelosok-pelosok kampung di Yogyakarta, termasuk sima’an rutin Ahad Pahing setiap bulan yang dilaksanakan secara bergilir dari satu tempat ke tempat lain di wilayah Bantul. Beliau juga aktif di Jam’iyyah Nahdlatul ‘Ulama, menjadi Penasehat Jam’iyyatul Qurro’ wal Huffadz Pusat, serta menjadi Anggota Majlis Pentashih Al-Qur’an.

Saking sibuknya mengabdikan diri untuk para santri dan masyarakat, sampai-sampai beliau tidak memedulikan kesenangan duniawi secara mendalam. Apapun benda dan berapapun banyaknya harta, beliau tidak pernah menghitungnya. Namun setiap kebutuhan hidup keluarga beliau senantiasa tercukupi, bahkan istri beliau, Ny. Salimah Nawawi, selalu diperintahkan untuk mengambil sendiri berapapun banyaknya yang dibutuhkan tanpa harus sepengetahuan beliau.

Diceritakan oleh KH. A. Mustofa Bisri (Gus Mus, Rembang), bahwa beliau mengaji Surat Al-Fatihah kepada Romo Kyai Qodir selama tiga bulan. Sampai-sampai beliau seakan sakit hati karena santri-santri lain sudah khatam tetapi beliau masih saja Al-Fatihah. Setelah diusut, ternyata waktu itu, sang ayah (KH. Bisri Mustofa) menitipkan beliau kepada Romo Kyai Qodir secara sungguh-sungguh.
“Kyai, hari ini saya titip anak saya kepada Kyai. Tolong ajari anak saya bagaimana caranya membaca Al-Fatihah yang baik dan benar. Tapi ingat Kyai, kalau nanti shalat anak saya sapai tidak diterima oleh Allah subhaanahu wa ta’ala lantaran fatihah yang Kyai ajarkan, saya akan tuntut Kyai nanti di Yaumil Hisab,” ujar Kiai Bisri kepada Kyai Qodir.

Romo Kyai Qodir sangat memegang erat komitmen ini. Sehingga beliau benar-benar membimbing proses mengaji dan keseharian para santri dengan tegas dan contoh nyata berupa kedisiplinan, keistiqomahan, dan ketawadhu’an. Beliau seringkali ikut mengaji bersama para santri kepada santri beliau sendiri, membawa dan ngesahi (memberi makna gandul) kitabnya sendiri dalam pengajian kitab-kitab kuning. Tentunya, santri yang dimaksud telah mendapat mandat dari beliau dan dianggap sudah mumpuni dalam mengajarkan kitab, seperti KH. Abdul Mannan (Malang) yang mengajar kitab Tafsir Jalalain atau KH. Hasyim Yusuf (Nganjuk) yang mengajar kitab Fiqih Fathul Mu’in.

Setiap kali mendapat undangan dalam berbagai acara, di manapun tempatnya, beliau senantiasa menyempatkan waktu untuk menghadirinya. Terlebih-lebih kalau pihak yang mengundang beliau berasal dari keluarga yang tidak mampu, beliau prioritaskan untuk menghadirinya. Selain sangat menyayangi orang fakir, beliaupun sangat mencintai anak-anak yatim. Sebagaimana dikisahkan oleh KH. Abdullah Faqih (Temenggungan – Malang), ketika itu Kyai Faqih kecil beserta adiknya, Gus Najib, yang telah yatim, pertama kalinya tiba di Pesantren Al-Munawwir Krapyak untuk mengaji, didampingi sang ibu yang juga turut mengaji dan menetap di komplek utara. Sesampainya mereka di depan gerbang pesantren, dan setelah ketiganya turun dari becak, nampak Romo Kyai Qodir berada di dekat gerbang bersiap menyambut mereka. Dengan rasa haru, sambil melambaikan tangan, beliau menyambut, “Ayo, ayo, mari ke sini anak-anakku, silakan, silakan..” Keduanya mencium tangan beliau dan beliaupun memeluk serta mengecup kening kedua anak yatim ini dengan penuh kasih sayang.

Adapun santri-santri yang pernah mengaji Al-Qur’an kepada beliau di antaranya adalah; KH. Ahmad Munawwir (adik) (Krapyak), KH. Mufid Mas’ud (adik ipar) (Sleman), KH. Nawawi Abdul Aziz (adik ipar) (Ngrukem), K. Muhdi Tempel - (Sleman), KH. Jawahir (Sewon), KH. Ali Harun (Sewon), KH. Umar Abdurrahman (Bantul), KH. Bilal (Kulonprogo), KH. Hasyim Syafi’i (Jejeran), KH. Munawir Abdul Fatah (Krapyak), Ny. Hj. Walidah Munawwir (Ngrukem), KH. Shohib (Demak), KH Shodiq (Purworejo), KH. Ahmad Djablawi (Klaten), KH. A. Mustofa Bisri (Rembang), KH. Ahmad Husnan (Pekalongan), KH. Abdullah (Demak), KH. Munawwir (Kebumen), KH. Ardani (Mangkuyudan), KH. Ibnu Hajar (Wonosobo), Ny. Hj. Shofiyah Syafi’i (Purworejo), K. Munawwir (Klaten), KH. Sofyan (Nganjuk), KH. Syafi’i Abbas (Banyuwangi), KH. Masduki Abdurrahman (Jombang), KH. Abdul Mannan (Malang), KH. Dahlan Basuni (Surabaya), KH. Ridhwan Abdul Rozaq (Kediri), KH. Abdullah Faqih (Malang), KH. Ali Shodiq (Tulungagung), KH. Umar (Pare), KH. Musta’in (Malang), KH. Yusuf Hasyim (Nganjuk), KH. Muhtarom Sya’roni (Blitar), KH. Ahyad (Blitar), KH. Maftuh Afandi (Ngawi), KH. Khoiruddin (Pare), KH. ‘Ashim Ma’lum (Tulungagung), KH. Misbah Ahmad (Sidoarjo), KH. Misbah Zainuri (Kediri), KH. Murod (Sampang), KH. Sulthon (Jombang), NY. Hj. Zuhriyyah Mundzir (Kediri), Ny. Hj. Aminah (Blitar), KH. Masduki Mahfudz (Malang), KH. Thoyyib Ghozali (Surabaya), KH. Manshur (Sampang), KH. Rosyad Thoyyib (Sampang), KH. Suhaib Syukur (Pasuruan), KH. M. Umaerah Baqir (Bekasi), KH. Amin Siraj (Cirebon), KH. Syarif Husein (Tasikmalaya), dan masih banyak lagi.

Dalam perjuangan dan pengabdian beliau terhadap keluarga, para santri, dan masyarakat, tidak terasa ternyata beliau terserang diabetes melitus yang mengakibatkan kesehatan beliau menurun. Meskipun beliau hanya mampu berbaring, pengajian Al-Qur’an tetap berlangsung seperti biasanya. Hingga pada akhirnya kondisi beliau betul-betul berubah drastis dan semakin parah, sehingga mengharuskan beliau dirawat di RS Panti Rapih. Menurut Pak Mastur (Kretek – Bantul), Romo Kyai Qodir sebenarnya tidak berkenan dirawat di rumah sakit, begitu pula keluarga beliau. Dikhawatirkan terjadi hal-hal yang tidak diinginkan, yakni wafat di ruah sakit. Namun setelah mendapat penjelasan tentang penyakit yang beliau derita dari dr. Yasin dan arahan dari KH. Ali Ma’shum, akhirnya beliau dan keluarga berubah pikiran.

“Perlu kalian semua ketahui, bahwa iman itu tidak terdapat di rumah sakit, tetapi iman itu ada di sini (Kyai Ali memegang dadanya). Sekian banyak orang yang datang ke masjid tetapi kenyataannya sekian banyak pula yang sesat di luar sana. Oleh karena itu, mari kita bawa serta Kyai Abdul Qodir ke rumah sakit sebagai sebuah ikhtiar kita selaku hamba Allah subhaanahu wa ta’ala dan bertawakkallah.” ujar Kiai Ali Ma’shum kepada segenap keluarga.

Saat-saat terakhir menjelang wafat, beliau masih sempat untuk sekali lagi dan terakhir kalinya mengkhatamkan Al-Qur’an 30 juz, dalam kondisi kesehatan yang makin kritis. Sampai pada akhirnya, dalam kondisi yang sangat berat, setengah sadar setengah tidak, sehabis membaca surat Al-Ikhlas, beliau bertanya kepada Kyai Hasyim,
“Syim, kalau setelah surat Al-Ikhlas itu kemudian seterusnya surat apa ya, Syim?”
“Setelah surat Al-Ikhlas seterusnya adalah surat Al-Falaq, kemudian surat An-Nas, Romo..” jawab Kyai Hasyim sambil sesenggukan, tak mampu membendung air matanya.
“Syim, tolong bantu aku menyelesaikannya ya, Syim..” pinta beliau.
“Inggih, Romo..” jawab Kyai Hasyim, kemudian dengan amat pelan disertai sesenggukan menuntun kalimat demi kalimat , ayat demi ayat dari surat Al-Falaq, An-Nas, Al-Fatihah, dan seterusnya sampai diakhiri dengan doa Khotmil Qur’an.

Melihat kondisi beliau yang semakin kritis, Pak Mastur dengan perintah Ibu Nyai, pulang ke Krapyak untuk memberitahukan kepada para kerabat, khususnya KH. Mufid Mas’ud dan KH. R. Abdullah Afandi, perihal kondisi beliau tersebut. Setelah selesai mengabarkan hal tersebut, belum sampai kembali di rumah sakit, Pak Mastur sudah mendengar kabar bahwa Romo Kyai Qodir telah wafat. Suasana haru dan pilu sontak terasa melingkupi Krapyak waktu itu. Semua merasa kehilangan dan merasa ditinggalkan oleh beliau.

Setelah selama kurang lebih 20 tahun beliau mengemban amanah dan perjuangan ayahandanya, khususnya dalam mengajar Al-Qur’an dan mencetak kader-kader huffadz yang handal, akhirnya beliau berpulang ke hadirat Allah subhanahu wa ta’ala pada malam Jum’at Kliwon, pukul 18.30, 17 Sya’ban 1381 H / 2 Februari 1961 M., di RS Panti Rapih, dalam usia relatif muda (42 tahun), di sisi istri beliau.
Pemakaman dilaksanakan pada siang harinya ba’da Shalat Jum’at, di dekat pusara ayahanda tercinta, KH. Muhammad Munawwir.

Beliau meninggalkan seorang istri Ny. Hj. R. A. Salimah binti KH. Nawawi dan lima putra-putri; Ny. Hj. Ummi Salamah (Krapyak – Yogyakarta), waktu itu masih berusia 9 tahun; KH. R. Muhammad Najib (pengasuh Madrasah Huffadz I Al-Munawwir Krapyak), waktu itu masih berusia 6 tahun; Ny. Hj. Munawwaroh (Glagahombo – Muntilan – Magelang), waktu itu masih berusia 4 tahun; KH. R. Abdul Hamid (pengasuh PP Ma’unah Sari Bandar Kidul – Kediri), waktu itu masih berusia 2 tahun; dan KH. R. Abdul Hafidz (pengasuh Madrasah Huffadz II Al-Munawwir Krapyak), waktu itu masih berusia 6 bulan di dalam kandungan.
Meskipun beliau telah tiada di tengah-tengah atmosfer kehidupan Krapyak, namun semangat dan keteladanan beliau senantiasa menginspirasi para santri, terutama bagi mereka yang sedang berupaya tahaffudz Al-Qur’an. Dan estafet amanah terus bergulir ke generasi selanjutnya.

Selamat jalan Romo, Semoga semua amal ibadah ewngkau senantiasa diterima disisi Alloh SWT sebagai penghapus atas segala noda dan kekhilafan yang pernah ada selaku manusia biasa yang tak pernah lepas dari salah lupa dan dosa. Dan semoga segala noda, kekhilafan, salah dan dosa engkau senantiasa terhapuskan dan senantiasa diampuni oleh Alloh SWT. amin ya mujibassailiiiiinn,....

Sekilas Tentang PP. BUQ BETENGAN DEMAK

BIOGRAFI PENDIRI PONDOK PESANTREN
BUSATNU ‘USYSYAQIL QUR’AN

Putra Teladan Seorang Ulama’ Besar Di Jawa

Sejarah pesantren, sebagaimana sering dipahami tidak akan terlepas dari sejarah pendirinya dan para kyainya. Hal ini dapat kita maklumi karena kyai merupakan elemen terpenting dalam sebuah pesantren. Bahkan, tidak akan disebut pesantren bila tidak ada kyainya.


Begitu pula yang terjadi di pondok pesantren Bustanu ‘Usysyaqil Qur’an (BUQ). Pondok ini didirikan oleh seorang ulama’ yang memiliki sejarah dan nasab yang cemerlang. Beliau adalah KH. R. Muhammad, putra dari KH. Mahfuzh At Tarmasi, seorang ulama’ jawa yang aktif dalam percaturan pemikiran ulama-ulama Timur Tengah pada abad ke-18 Masehi. Hal ini dapat kita ketahui dari kitab-kitab karangannya yang cukup berpengaruh terhadap ulama-ulama pada masa itu. 


Di antara kitabnya adalah Mauhibah Dzil al-Fadl Syarh Bafadhal di bidang figih sebanyak empat jilid (sudah tercetak) dan disempurnakan dengan jilid kelima dengan judul Takmilah Mauhibah Dzil al-Fadl (belum tercetak). Kitab ini merupakan komentar terhadap kitab karya Ibnu Hajar. Selain itu, karya monumental beliau adalah Manhaj Dzawi an-Nazhar di bidang Musthalah Hadits. Masih banyak lagi karya beliau yang belum terpublikasikan.


Selain pada karya-karya beliau di atas, kebesaran KH. Mahfuzh juga tampak pada murid-murid beliau yang kelak menjadi ulama-ulama masyhur di Tanah Air. Di antara mereka adalah :
  • KH. Hasyim Asy’ari dari Jombang Jawa Timur, yang merupakan pendiri Nahdlatul ‘Ulama, organisasi terbesar di Indonesia.
  • KH. Munawir dari Krapyak Yogyakarta, pendiri Pondok Pesantren Al Munawir Krapyak.
  • KH. Wahab Hasbullah dari Jombang Jatim, pengasuh Pondok Pesantren Bahrul Ulum.
  • KH. Asnawi dari Kudus Jawa Tengah.
  • KH. Dalhar dari Watucongol Muntilan.
Kedalaman dan keluasan ilmu KH. Mahfuzh membuat beliau di percaya untuk menjadi mufti di Makkah dan mengajar di Masjidil Haram. Keagungan beliau tersebut, tampaknya memberikan pengaruh tersendiri bagi putra beliau. Apalagi sejak kecil, KH.R. Muhammad, sang putra tersebut sudah terbiasa mengikuti ayahnya ketika mengajar di Masjidil Haram serta melakukan thawaf di Baitullah. Hal itu agaknya membangkitkan cinta beliau terhadap ilmu-ilmu agama. Hingga suatu ketika datang seorang santri yang hendak menimba ilmu kepada KH. Mahfuzh. Orang itu adalah KH. Munawir yang kelak menjadi pengasuh Pondok Pesantren Krapyak Yogyakarta. Saat itu KH. Munawir sedang menunaikan ibadah haji bersama istri beliau. Begitu menyadari bahwa santri tersebut mampu mengkhatamkan Al Qur’an dengan sekali thawaf, KH. Mahfuzh berpesan pada Putranya agar mampu menirunya.
     
Pada saat R. Muhammad berusia 9 tahun, KH. Mahfuzh berpulang ke Rahmatullah, hingga R. Muhammad menjadi yatim piatu. Sementara Muslimah, sang ibunda yang berasal dari Demak, telah wafat terlebih dahulu dan dimakamkan di daerah asal beliau tersebut. Sedangkan sang ayahanda dimakamkan di Makkah. 

Menurut keterangan yang disampaikan Syekh Thohir kepada KH. Muhdi Taslim (adik ipar R. Muhammad), ketika menunaikan ibadah haji tahun 1963-jasad KH. Mahfuzh masih utuh. Hal itu diketahui ketika makam tersebut digali untuk dipindahkan ke tempat lain, akhirnya, menurut Syekh Thohir, pemindahan itu tidak jadi dilakukan karena tidak mungkin memindahkan makam orang yang selalu dijaga oleh Allah.

Demi Permata Ilmu, Kembali Ke Tanah Jawa

Dengan meniggalnya kedua orang tua, R. Muhammad akhirnya dibawa boyong ke Tanah Air, oleh KH. Munawwir, sesuai melaksanakan ibadah haji dan menimba ilmu kepada KH. Mahfuzh meski tidak lama. Hal itu dilakukan oleh KH. Munawwir karena beliau telah diwasiati oleh KH. Mahfuzh untuk mendidik anaknya di bidang hafalan Al Qur’an. Sesampai di Tanah Air, kemudian beliau diserahkan oleh KH. Munawwir kepada KH. Dimyati, kakak KH. Mahfuzh, yang merupakan pengasuh Pondok Tremas saat itu, KH. Dimyati menyerahkan R. Muhammad kepada KH. Munawwir untuk dididik menghafal Al Qur’an.


Kemudian, R. Muhammad diambil KH. Munawwir sebagai anak angkat yang sangat disayangi hingga seakan melebihhi kasih sayang terhadap putra-putra beliau sendiri. Selama kurang lebih 4 tahun, beliau belajar di Pondok Krapyak. 
Sehabis menimba ilmu disana, beliau diserahkan kembali kepada sang paman, KH. Dimyati di Pondok Tremas. Di Pondok tersebut, R. Muhammad diasuh dan diawasi langsung oleh KH. Dimyati dan dibantu oleh KH. Ali Ma’shum, putra KH. Ma’shum dari Lasem, yang menjadi menantu KH. Munawwir. Kemudian, setelah cukup banyak ilmu agama yang dikuasai, KH. Dimyati memerintahkannya untuk ber-tabarruk-an kepada KH. Ma’shum Lasem.

E p i l o g
Sebagaimana diketahui bersama, perkembangan zaman semakin maju. Informasi yang bukan berasal dari ajaran Al Qur’an datang membanjiri pikiran kita dengan tak terbendung. Informasi-informasi itu pun dengan mudah dapat diterima oleh masyarakat terutama generasi muda Islam. Untuk mengantisipasi hal itu, perlu adanya balance dan filter agar masyarakat, khususnya generasi muda islam, tidak terjerumus kepada informasi yang menyesatkan. 


Dengan demikian, mereka kelak bisa betul-betul diharapkan menjadi generasi penerus agama, bangsa, dan negara yang baik serta bertanggung jawab amat dikenal dan dihormati oleh masyarakat Demak. Apalagi pada saat itu, ulama yang hafizh Al Qur’an memang masih sedikit sekali. Namun, pada tahun 1920-an, beliau meninggal dunia. Seorang saudagar Demak, H. taslim, yang merupakan teman dekat Kyai Apil, merasa kehilangan sekali atas meninggalnya Kyai tersebut. Karena itulah, ia pun berkeinginan untuk mendapatkan seorang menantu hafizh yang dapat mengajarkan Al Qur’an kepada masyarakat Demak.

Tidak berlangsung lama, keinginan H. Taslim tersebut akhirnya terwujud. Teryata keponakan beliau, R. Muhammad, adalah seorang remaja yang hafizh al Qur’an sekaligus menguasai ilmu-ilmu agama. Sang paman pun menaruh simpati kepadanya. Karena itulah, beliau berusaha agar bisa menjodohkannya dengan salah seorang putrinya yang bernama Fathimah. Alhamdulillah, usaha dan do’a beliau dikabulkan oleh Allah sehingga akhirnya R. Muhammad dapat diambil sebagai menantu.


Setelah menjadi menantu H. Taslim, R. Muhammad masih mengajar di Pondok Tremas selama satu tahun. Usai waktu rentang tersebut, baru beliau pulang ke rumah mertuanya di Demak. Kepulangan beliau disertai pula oleh santri-santri beliau yang menghafalkan Al Qur’an di Tremas. Kurang lebih tiga tahun beliau tinggal bersama mertua sembari mengajarkan ilmu yang ia kuasai, terutama ilmu Al Qur’an kepada para muridnya

Memenuhi Panggilan Jihad

Tatkala usia beliau menginjak remaja, R. Muhammad sering berkunjung ke Demak untuk menyambung tali silaturrahmi dengan keluarga besar ibundanya. Pada masa itu pula, kurang lebih tahun 1990-an, di Demak hiduplah seorang ulama hafizh Al Qur’an bernama kyai Ali Hafizh yang biasa di panggil Kyai Apil. Beliau amat dikenal dan dihormati oleh masyarakat Demak. Apalagi pada saat itu, ulama yang hafizh Al Qur’an memang masih sedikit sekali. Namun, pada tahun 1920-an, beliau meninggal dunia. 

Seorang saudagar Demak, H. taslim, yang merupakan teman dekat Kyai Apil, merasa kehilangan sekali atas meninggalnya Kyai tersebut. Karena itulah, ia pun berkeinginan untuk mendapatkan seorang menantu hafizh yang dapat mengajarkan Al Qur’an kepada masyarakat Demak.

Tidak berlangsung lama, keinginan H. Taslim tersebut akhirnya terwujud. Teryata keponakan beliau, R. Muhammad, adalah seorang remaja yang hafizh al Qur’an sekaligus menguasai ilmu-ilmu agama. Sang paman pun menaruh simpati kepadanya. Karena itulah, beliau berusaha agar bisa menjodohkannya dengan salah seorang putrinya yang bernama Fathimah. Alhamdulillah, usaha dan do’a beliau dikabulkan oleh Allah sehingga akhirnya R. Muhammad dapat diambil sebagai menantu.

Setelah menjadi menantu H. Taslim, R. Muhammad masih mengajar di Pondok Tremas selama satu tahun. Usai waktu rentang tersebut, baru beliau pulang ke rumah mertuanya di Demak. Kepulangan beliau disertai pula oleh santri-santri beliau yang menghafalkan Al Qur’an di Tremas. Kurang lebih tiga tahun beliau tinggal bersama mertua sembari mengajarkan ilmu yang ia kuasai, terutama ilmu Al Qur’an kepada para muridnya

Berpindah ke Tempat Baru
Melihat semakin banyaknya santri yang belajar kepada beliau, H. Taslim, sang mertua, dan masyarakat sekitar, mendorong beliau untuk mendirikan pondok pesantren. Hal itu juga guna menampung para santri yang sebagian bertempat di rumah mertuanya dan sebagian di rumah-rumah penduduk. Akhirnya pada tahun 1936, beliau mendirikan sebuah pesantren di daerah Betengan Bintoro Demak. 


Pendirian pesantren tersebut juga atas restu dari guru-guru beliau, yaitu KH. Ma’shum Lasem, KH. Masyur Popongan Klaten, dan KH. Munawwir Krapyak Yogyakarta. Pesantern ini di beri nama oleh KH. Munawwir dengan “Bustanu ‘Usysyaqil Qur’an” yang berarti taman para perindu al Qur’an. Disinilah beliau kemudian hidup mandiri mengembangkan ilmu-ilmu yang di perolehnya. Di sini pula, beliau membangun rumah tangga bersama istri tercinta yang kelak memberi beliau enam orang putra. 

Dengan berpindah ke tempat tersebut, beliau mengajarkan Al Qur’an kepada para santri dengan sungguh-sungguh bahkan kebanyakan kehidupan beliau dicurahkan untuk mendidik para santri, beliau dikenal sangat disiplin. Beliau selalu hadir di majlis pengajian dengan tepat dan tidak mengakhiri pengajian sebelum jam yang ditetapkan.
Lebih-lebih pada bulan Romadlon, kedisiplinan beliau akan selalu ditekankan.

Beliau juga sangat mengajarkan santrinya untuk selalu rajin (mempeng = jawa) yang merupakan salah satu modal utama guna meraih kesuksesan menuntut ilmu. Bahkan, salah satu santri beliau menjabarkan ajaran tersebut kepada penulis, “Ibarate seliramu sedino ngendok peng limo, iku luweh apik tenimbang seliramu samben dino poso, ning tura-turu tok!” dalam bahasa Indonesia kira-kira maksudnya adalah “Ibaratnya kamu sehari masak/makan lima kali asal mau rajin serta sungguh-sungguh dalam belajar, maka hal itu lebih baik daripada kamu setiap hari puasa tapi tidur melulu!”


Disamping kesibukan mengajar para santri, KH. R. Muhammad selalu menyempatkan diri untuk menghatamkan Al Qur’an dalam sehari. Bahkan, dari beberapa keterangan yang penulis terima, beliau terbiasa menghatamkan Al Qur’an 30 juz dalam waktu yang relatif singkat, yaitu lebih kurang tiga puluh menit.

Berpulang ke Rahmatullah
Setelah mengasuh Pondok Pesantren BUQ sekian lama beliau diberi Allah cobaan. Salah seorang anggota keluarga beliau yang juga teman akrab dalam bermusyawaroh, yaitu KH. Hamid Tremas, meninggal dunia karena dibunuh PKI pada peristiwa pemberontakan PKI Madiun. Atas meninggalnya KH. Hamid tersebut, KH. R. Muhammad merasa terpukul dan dirundung duka cita yang mendalam. Hingga akhirnya, beliau pun jatuh sakit selama sekitar satu tahun.


Kemudian pada tahun 1975, beliau berpulang ke Rahmatullah, menghadap sang Kholiq. Namun, ketika masih dalam keadaan sakit, beliau sempat berwasiat kepada adik ipar beliau yang bernama KH. Muhdi Taslim untuk meneruskan Pondok Pesantren BUQ ini. Pada waktu itu, beliau di karuniai empat orang anak, tiga orang prempuan dan satu orang laki-laki. Anak lelaki satu-satunya tersebut merupakan anak bungsu dan bernama Harir Muhammad. Ia baru berusia satu tahun ketika di tinggal wafat sang ayahnda, KH. R. Muhammad.

PERKEMBANGAN PONDOK PESANTREN
BUSTANU ‘USYSYAQIL QUR’AN


Sepeninggal KH. Raden Muhammad, KH. Muhdi Taslim meneruskan Pondok Pesantren BUQ ini sampai tahun 1975. pada pertengahan masa kepemimpinan beliau tersebut, sekitar tahun 1965, KH. Muhdi Taslim dibantu oleh menantu KH. Muhammad yang bernama KH. Abdullah Zainuri. Pada masa kepemimpinan KH. Muhdi Taslim inilah berdiri Pondok putri.


     Seiring waktu terus berlalu, anak bungsu KH. R. Muhammad, yaitu KH. Harir Muhammad pun menginjak dewasa. Ia telah menjadi seorang hafizh dan menguasai pengetahuan agama yang cukup usai menimba ilmu di beberapa pesantren. Ia kemudian pulang ke Betengan pada tahun 1975. Dengan kepulangannya ke Betengan, ia di amanati KH. Muhdi Taslim untuk meneruskan Pesatren peningalan ayahandanya dan pada Sabtu malam, 12 Oktober 2013 beliau meninggal, beliau meninggalkan 6 putra 2 putra dan 4 putri sepeninggal beliau tongkat estafet kepamimpinanya di lanjutkan oleh KH. In'am Attaqi Muhdi (putra KH. Muhdi Taslim), KH. Muhammad Mahfudz (Putra pertama KH. Harir Muhammad), KH. Ma'shum Sofa Harir (putra kedua KH. Harir Muhammad), HM. Abdulloh Salam (Putra Menantu KH. Harir Muhammad), serta beberapa asatidz dan asatidzah.

Sebagaimana sebelumnya, Pesantren BUQ telah hadir ditengah masyarakat sejak tahun 1936. hal itu merupakan suatu rentang waktu yang cukup panjang untuk perjalanan sebuah pesantren. Banyak yang telah dihasilkan oleh Pesantren ini, terutama penghafal Al Qur’an (Hufazh) yang kini tersebar di seluruh pelosok tanah air. Ini berarti pula Pesantren BUQ telah ikut andil memunculkan orang-oarang yang akan menjaga kemurnian Al Qur’an dan menyebarkan ajaran-ajaran mulia yang dikandungnya.


Disamping itu, Pondok Pesatren Bustanu ‘Usysyaqil Qur’an telah banyak mengukur prestasi, baik ditingkat daerah, nasional, dan internasional. Diantara prestasi-prestasi yang diraih tersebut,
  • Juara ke enam dan masuk The Biq Ten dalam MHQ di Makkah Al Mukarromah pada tahun 1980 atas nama Harir Muhammad
  • Juara I MHQ putri di Aceh pada MTQ Nasional tahun 1981 atas nama Siti Hajar
  • Juara III MHQ putri di Aceh pada MTQ Nasional tahun 1981 atas nama Zilaikha
  • Juara I MHQ putri pada MTQ di Lampung tahun 1987 atas nama Mutammimah (Istri KH.Harir Muhammad)
  • Juara I putra pada MHQ Nasional yang diadakan oleh Jam’iyatul Qurro’ Wal Huffazh Nahdlotul Ulama di Garut pada tahun 1994 atas nama Mudhofir
  • Juara I MHQ putri se Jawa-Madura di Pekalongan tahun 1981 atas nama Siti Hajar
Sedangkan untuk tingkat daerah banyak sekali prestasi yang telah direbut.

PROGAM PENDIDIKAN, USAHA, DAN KETERAMPILAN
PONDOK PESANTREN BUSTANU ‘USYSYAQIL QUR’AN

Proses pendidikan dan pengajaran yang berlangsung sejak tahun 1936 tersebut telah cukup memberikan pengalaman-pengalaman yang sangat berharga bagi pengembangan BUQ, baik dalam system pendidikan, materi pengajian, maupun keterampilan penunjang lainnya. Sudah barang tentu hal ini dilakukan atas asumsi bahwa alumni pesantren BUQ harus mampu berdikari dan berkiprah di tengah masyarakatnya.
Untuk itu secara sekilas perlu kami paparkan beberapa kegiatan yang telah dan sedang dilaksanakan oleh PP. BUQ.

1. Program TPQ/TPA

Taman pendidikan Al Qur’an adalah salah satu lembaga pendidikan anak yang ditekankan pada pengenalan Al Qur’an, penghayatan, dan pengamalan Al Qur’an yang nantinya menjadi generasi Islam yang berprilaku Qur’ani.


Taman pendidikan Al Qur’an BUQ menargetkan kepada santri didik untuk dapat
menyelesaikan qira’ah Qur’an bin nazhor dalam jangka waktu dua tahun. Di samping itu mereka juga ditanamkan sopan-santun serta do’a-do’a sehari-hari, yang bisa mereka amalkan di kehidupan sehari-hari dalam lingkungan keluarga dan masyarakat.

2. Progam Ta’limul Qur’an bin-Nazhor

Dalam program Ta’limul Qur’an ini, peserta didik diajarkan membaca Al Qur’an dengan baik dan tartil sesuai dengan kaidah-kaidah pembacaan yang benar (ilmu tajwid). Program ini sebagai landasan bagi para santri untuk mengikuti program selanjutnya, yaitu program Ta’limul Qur’an bil Ghoib dan program Qira’ah Sab’ah.


Metode belajar mengajar dalam program ini adalah dengan musyafahah, sema’an bergantian dan deresan
  • Musyafahah/Talaqqi, yaitu tatap muka langsung antara murid dan guru dengan berhadap-hadapan (face to face), kemudian sang guru membetulkan bacaan-bacaan yang keliru dari sang murid.
  • Sema’an bergantian, yaitu salah seorang santri membaca surat-surat pendek dari Al Qur’an (juz amma) secara hafalan atau bil ghoib, kemudian santri yang lain menyimak untuk membetulkan bacaan apabila terjadi kekeliruan.
  • Deresan, yaitu santri membaca Al Qur’an sendiri-sendiri dan berkumpul pada waktu dan tempat tertentu guna mempersiapkan pelajaran berikutnya.

3. Progam Tahfizhul Qur’an (bil ghoib)

Kelanjutan dari program Ta’limul Qur’an bin Nazhor, adalah Ta’limul Qur’an bil Ghoib. Dalam program ini, para santri dididik menghafalkan Al Qur’an sebagai langkah untuk menjaga kemurnian kandungan Al Qur;an dari perubahan. Hal itu karena Al Qur’an merupakan sumber dari segala dasar kehidupan manusia muslim di muka bumi ini yang harus dijaga kemurniannya.
Metode belajar-mengajar pada program ini adalah musyafahah, deresan, dan sema’an

  • Musyafahah/Talaqqi, yaitu tatap muka langsung antara murid dan guru dengan berhadap-hadapan (face to face). Sang murid membaca Al Qur’an dengan melihat langsung mushaf (bin nazhor), kemudian sang guru membetulkan bacaan-bacaan yang keliru dari sang murid. 
Metode ini dilaksanakan terhadap santri yang menyetor hafalannya kepada guru/kyai. Kemudian, kegiatan ini dilakukan setiap hari dua kali, yaitu pada ba’da shubuh dan ba’da ashar.
Sema’an
  1. Sema’an bergantian dua orang, yaitu salah seorang santri membaca Al Qur’an secara hafalan atau bil ghoib, kemudian santri lain yang menyimak untuk membetulkan bacaan apabila terjadi kekeliruan. Sema’an ini dilakukan minimal satu juz setiap kali pertemuan. Kegiatan ini dilakukan dua kali sehari, yaitu pada jam 09.30 WIB dan ba’da Isya’ sampai jam 21.00 WIB.
  2. Sema’an Halaqoh. Sema’an ini dilakukan oleh kelompok, yang rata-rata terdiri dari empat orang. Setiap kelompok terdiri dari santri-santri yang rata-rata telah memperoleh hafalan berimbang. Kegiatan ini dilakukan setiap Selasa dan Jum’at mulai ba’da shubuh sampai jam 07.00 WIB. Setiap pertemuan, Al Qur’an yang dibaca sebanyak dua setengah juz dari dari hafalan-hafalan yang terdahulu. Setiap santri membaca satu halaman secara bergantian.
  3. Sema’an Ahad Legi. Sema’an ini dilakukan tiap bulan pada tiap hari Ahad Legi. Sema’an ini dibagi menjadi beberapa kelompok, yaitu 1-5 juz, 6-10 juz, 11-15 juz, 16-20 juz, 21-25 juz dan 1-30 juz. Setiap kelompok berjumlah sekitar empat orang yang terdiri dari santri-santri yang rata-rata memperoleh hafalan berimbang. Setiap santri membaca satu halaman secara bergantian. Para petugas penyemaknya terdiri dari para santri huffazh yang tidak mendapat tugas membaca serta dari para santri bin nazhor.
  4. Dalam acara sema’an ini juga diadakan pembacaan do’a untuk mereka yang ingin agar arwah keluarga mereka dido’akan dengan wasilah khataman Al Qur’an, baik dari kalangan santri maupun masyarakat luar. Setiap arwah yang dido’akan, dikenai infaq guna membiayai syukuran khataman dan minuman para pembaca serta penyimak.
  5. Sema’an dalam rangka “ujian” tingkat ke jenjang hafalan berikutnya. Sema’an ini wajib dilakukan ketika santri telah menyelesaikan hafalannya sebanyak 5 juz dan kelipatannya, misalnya 5 juz, 10 juz, 15 juz, dan seterusnya. Apabila santri belum mampu melaksanakan sema’an tersebut, maka tidak diperbolehkan menambah hafalan berikutnya. Sema’an harus disaksikan oleh minimal dua orang penyimak. Hasil dari sema’an tersebut dicatat dalam sebuah formulir yang diperiksa oleh pengurus huffazh dan kyai, kemudian dikirimkan ke orang tua/wali santri masing-masing. Dalam setiap juz, minimal terdapat dua kesalahan. Apabila jumlah kesalahan lebih dari dua, maka santri harus mengulang sema’an tersebut, dan belum diperbolehkan ikut musyafahah dengan kyai untuk menambah materi hafalan berikutnya.
  6. Sema’an dalam rangka menyambut hari-hari besar Islam. Tata cara sema’an ini sama dengan sema’an Ahad Legian.
  7. Deresan, yaitu santri membaca Al Qur’an sendiri-sendiri dan berkumpul pada waktu dan tempat tertentu guna mempersiapkan pelajaran berikutnya, atau mengulang hafalan-hafalan yang sudah dimiliki.

4. Progam Qiro’ah Sab’ah
Dalam membaca Al Qur’an selain bacaan-bacaan yang sering kita dengar telinga kita sehari-hari, terdapat pula cara membaca Al Qur’an yang lain yang dikenal dengan Qiro’ah Sab’ah (Qiro’ah yang tujuh). Di BUQ, Qiro’ah Sab’ah juga diajarkan sebagai program lanjutan setelah santri mengkhatamkan Al Qur’an bil ghoib dengan Qiro’ah Ashim yang notabene merupakan qiro’ah utama yang diajarkan mula-mula. Santri yang mengikuti program ini adalah santri yang memang dianggap mampu oleh pengasuh. Dengan demikian, tidak setiap santri yang telah khatam bil ghoib, melanjutkan ke program ini, metode pengajarannya adalah musyafahah /talaqqi dan santri menulis terlebih dahulu ayat-ayat Al Qur’an yang akan di baca di depan guru.


5. Program Madrasah Diniyyah
Islam adalah satu ajaran agama samawi yang telah memberikan aturan-aturan bagi pemeluknya untuk diamalkan Aturan-aturan tersebut meliputi amalan-amalan yang bersifat horisontal (mu’amalah) dan yang bersifat vertical (ubudiyyah).


Untuk dapat melaksanakan ajaran-ajaran tersebut, perlu adanya satu sarana dan prasarana untuk memperdalam pengetahuan agama, baik dalam bentuk klasikal (madrasah) maupun yang non klasikal (bandongan, sorogan). PP. BUQ pun memberikan program Madrasah Diniyyah untuk memberikan bekal kepada santri pengetahuan keagamaan. Program ini ditekankan kepada santri yang hanya mengikuti program Ta’limul Qur’an bin nazhor.


Madrasah Diniyyah ini terbagi menjadi beberapa kelas, yaitu kelas I, kelas II, kelas III, dan kelas Istimewa (untuk santri yang masih dalam persiapan untuk mengikuti program tahfizh atau sedang menjalaninya).


6. Program Pengajian Kitab Kuning
Program ini merupakan ekstra kurikuler untuk manambah wawasan pengetahuan keislaman santri. Pengajian ini dilakukan seminggu dua kali ba’da Maghrib dan disampaikan secara bandongan. Kitab yang dibaca bervariasi, seperti kitab-kitab tentang masalah tafsir, fiqih, tajwid, ulumul qur’an, akhlaq, hadis dan lain-lain.


7. Progam Pengajian Rutin Orang Tua
Dalam upaya untuk menjadikan pesantren sebagai lembaga pendidikan yang juga peduli terhadap masyarakat sekitarnya, PP. BUQ mengadakan pengajian rutin setiap Selasa dan Sabtu sore (ba’da Ashar) untuk para orang tua yang tinggal di seputar lingkungan pondok. Pengajian tersebut diberikan oleh para kyai dan ustadz dari PP. BUQ sendiri dan berkisar tentang masalah-masalah keagamaan praktis.

8. Unit Usaha Koprasi

Koprasi adalah soko guru perekonomian yang menjadi wadah untuk meningkatkan taraf ekonomi bagi para anggotanya dan menunjang berbagai kegiatan pesantren.
Dalam meningkatkan taraf ekonomi Pondok Pesantren BUQ dan memberikan bekal di bidang perekonomian dan keterampilan kepada santri, PP. BUQ telah membentuk koperasi yang jenis usahanya adalah bidang pertokoan, wartel, simpan pinjam, argo industri, muebel dan perbengkelan las.

9. Unit Ta’lif Wan-Nasyr

Telah jelas didepan bahwa keluarga pendiri Pondok Pesantren BUQ adalah pewaris tunggal dari KH. Mahfuzh bin Abdullah At Turmusi yang telah menulis kitab-kitab keagamaan yang menjadi bahan literatur bagi pengetauan keagamaan baik di dalam negeri maupun di luar negeri.


Beranjak dari hal itu, Unit Ta’lif wan Nasyr PP. BUQ berupaya agar dapat menerbitkan kembali kitab-kitab karangan KH. Mahfuzh yang telah banyak diterbitkan, baik di dalam maupun di luar negeri. Disamping itu, unit ini juga berupaya menerbitkan kitab-kitab yang sudah disusun oleh beliau namun sampai saat ini masih belum dicetak. Percetakan ulang ini dimaksudkan untuk memasyarakatkan hasil karya beliau sehingga dapat membantu mereka yang ingin memahami dan menambah pengetahuan agama.

Demikian sekelumit tentang kisah mutiara para pengemban wahyu ilahhi, semoga dengan lantaran uraian sederhana ini bisa menambah kecintaan kita pada al-qur'an dan para pejuangnya dan pada akhirnya kita bisa mendapatkan syafa'at dari al-qur'an dan dikumpulkan dengan para ahlinya,..amiiin,..

Comment